Konsep Sehat
Secara harfiah sehat
berarti kondisi seseorang dimana seluruh bagian dari manusia dapat bekerja sama
dengan baik, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
(Kamus Bahasa Indonesia). Dari pengertian di atas saja kita sudah dapat menggambarkan apa arti sehat dan apa saja hal-hal yang “menyangkut” tentang sehat itu sendiri.
(Kamus Bahasa Indonesia). Dari pengertian di atas saja kita sudah dapat menggambarkan apa arti sehat dan apa saja hal-hal yang “menyangkut” tentang sehat itu sendiri.
Konsep sehat dalam hal ini bukan hanya apa arti
sehat seperti yang “digambarkan” oleh pengertian di atas yaitu fungsi tubuh
yang berfungsi dan berkoordinasi dengan baik serta bekerja dengan semestinya.
Setiap usaha-usaha dalam “mencapai” dan mempertahankan kesehatan itu merupakan
konsep sehat itu sendiri. Banyak usaha yang dilakukan setiap orang untuk
mencapai apa itu yang kita sebut dengan kata “sehat”, entah itu dengan meminum
obat-obatan secara teratur setiap hari, berolahraga dengan jadwal
ketat,mengkonsumsi makanan yang organik, diet ketat, bahkan menempuh “jalan”
yang bisa dianggap sedikit di luar nalar.
Menurut
WHO, Sehat adalah keadaan keseimbangan yang sempurna, baik fisik, mental, dan
sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Menurut Parson. Sehat
adalah kemampuan optimal individu untuk menjalankan peran dan tugasnya secara
efektif. Menurut Undang-Undang Kesehatan RI No. 23 Tahun 1992, Sehat adalah
keadaan sejahtera tubuh, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Jadi di sini saya berpendapat atau dapat dikatakan
mempunyai kesimpulan bahwa konsep sehat itu bukan hanya dimana seluruh
bagian/organ tubuh berfungsi dan bekerja dengan baik (bagaimana semestinya),
tetapi juga setiap usaha-usaha yang dilakukan agar dapat “mencapai” kesehatan
dan mempertahankannya.
Sumber
:
http://ilmugreen.blogspot.com/2012/06/konsep-sehat-sakit-pada-keluarga.html
http://4jipurnomo.wordpress.com/konsep-sehat/
http://myblog-pamungkas.blogspot.com/2012/03/sejarah-kesehatan-mental-konsep-sehat.html
Sejarah Perkembangan
Kesehatan Mental
Sejarah kesehatan mental tidaklah sejelas
sejarah ilmu kedokteran. Ini terutama karena masalah mental bukan merupakan
masalah fisik yang dengan mudah dapat diamati dan terlihat. Berbeda dengan
gangguan fisik yang dapat dengan relatif mudah dideteksi, seklaipun oleh anggota
keluarganya sendiri. Hal ini lebih karena mereka sehari-hari hidup bersama
sehingga tingkah laku-tingkah laku yang mengindikasi gangguan mental dia anggap
hal biasa, bukan sebagai gangguan.
Khusus untuk masyarakat indonesia, masalah kesehatan mental saat ini belum
begitu mendapat perhatian yang serius. Krisis yang saat ini melanda membuat
perhatian terhadap kesehatan mental kurang terpikirkan. Faktor budaya pun
seringkali membuat masyarakat memiliki pandangan yang beragam mengenai
penderita gangguan mental. Oleh karena itu berikut disajikan sejarah mengenai
perkembangan kesehatan mental.
A. GANGGUAN MENTAL TIDAK DIANGGAP SAKIT
Tahun
1600 dan sebelumnya
Pandangan
masyarakat saat itu menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan mental
adalah karena mereka dimasuki oleh roh-roh yang ada disekitarnya. Mereka
dianggap melakukan kesalahan kepada roh-roh untuk menyatakan keinginannya. Oleh
karena itu mereka sering kali tidak dianggap sakit.
Tahun 1692
Mendapat
pengaruh para imigran dari Eropa yang beragama nasrani, di amerika orang yang
bergangguan mental saat itu sering dianggap terkena sihir/guna-guna atau
dirasuki setan.
Sejarah
kesehatan mental di Eropa, khususnya inggris agak sedikit berbeda. Sebelum abad
ke-17, orang gila disamakan dengan penjahat/kriminal sehingga mereka dimasukan
ke dalam penjara.
B.
GANGGUAN MENTAL DIANGGAP SEBAGAI SAKIT
Tahun
1724
Pendeta
Cotton Mather (1663-1728) mematahkan takhayul yag hidup di masyarakatberkaitan
dengan sakit jiwa dengan memajukan penjelasan secara fisik mengenai sakit jiwa
itu sendiri.
Tahun 1812
Benjamin
Rush (1745-1813) menjadi salah satu pengacara mula-mula yang menangani masalah
penangan secara manusiawi unruk penyakit mental. Pada masa ini tunbuh
kepercayaan bahwa penanganan di rumah sakit jiwa merupakan hal yang benar dan
secara ilmiah untuk menyembuhkan kegilaan. Pada tahun 1842 psikiater mulai
masuk dan mendapat peranan penting dir umah sakit mengagntikan ahli hukum yang
selama ini berperan.
Tahun 1843
Kurang
lebih terdapat 24 rumah sakit, tapi hanya ada 2.561 tempat tidur yang tersedia
untuk menangani penyakit mental di amerika serikat.
Tahun 1908
Clifford
Beers (1876- 1943) mendirikan masyarakat Connecticut untuk mental Higiene yang
kemudian pada tahun berikutnya berubah menjadi komite nasional untuk mental
Higiene yang merupakan pendahulu asosiasi kesehatan mental nasional.
Tahun 1910
Emil
Kraeplin pertama kali mengagmbarkan penyakit Alzheimer dan juga mengembangkan
alat tes yang digunakan untuk mendeteksi gangguan epilepsi.
C.
GANGGUAN MENTAL DIANGGAP BUKAN SAKIT
Tahun 1961
Thomaz
Szasz membuat tulisan yang berjudul The Myth of Mental Illness, yang
mengemukankan dasar teori yang menyatakan bahwa “ sakit mental” sebenarnya
tidaklah betul-betul “sakit” tetapi merupakan tidnadakan orang yang secara
mental tertekan karena harus bereaksi terhadap lingkungan.
Sumber
:
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental: kosep, cakupan, dan perkembangan.
Yogyakarta:ANDI
http://myblog-pamungkas.blogspot.com/2012/03/sejarah-kesehatan-mental-konsep-sehat.html
Pendekatan Kesehatan
Mental
1. Orientasi
Klasik
Orientasi klasik yang umumnya digunakan dalam
kedokteran termasuk psikiatri mengartikan sehat sebagai kondisi tanpa keluhan,
baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai
keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada
keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental. Dalam
ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika
kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya
adalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang-orang seperti itu tidak merasa
ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak mampu mengurus
dirinya secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi klasik kurang
memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu
dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang secara
mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang tidak dapat
menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.
2.
Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri,
pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat
individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama
norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya mental
seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga
pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam
masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi
dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau
sakit mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan
sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering
melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan pada
satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan
di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada
orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada
saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental
pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara
keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang
itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak
ada garis yang tegas dan universal yang membedakan orang sehat mental dari
orang sakit mental. Oleh karenanya kita tidak dapat begitu saja memberikan cap
‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau sakit
mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak sehat mental
berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat
menentukan derajat sehat atau tidaknya seseorang. Dengan kata lain kita hanya
bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita berangkat dari pandangan bahwa pada
umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika
kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak sehat mental.
Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai
kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan
mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan
proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
3.
Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa,
bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju
kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri. Dalam
psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendali utama dalam
setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan
tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan.
Telah terbukti bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan
sering terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan
bahwa keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan
seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene
mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan
gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan
jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan
masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus.
Sumber :
http://idb4.wikispaces.com/file/view/uf4018.2.pdf
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental: kosep, cakupan, dan perkembangan.
Yogyakarta:ANDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar